Akuisisi adalah sebuah bentuk usaha untuk mengembangkan sayapnya dan mencari ‘cuan’ lebih. Tidak hanya di industri food and beverages (FnB) saja, melainkan saat ini industri game juga sedang banyak yang melakukan akuisisi. Salah satu yang terbesar dan terpanas terjadi di awal tahun 2022 di mana Microsoft berhasil untuk melakukan akuisisi terhadap perusahaan pengembang game besar di Amerika Serikat, yakni Activision Blizzard.
Banyak orang yang mengatakan bahwasanya kejadian tersebut menjadi ‘tonggak’ bersejarah dalam industri game. Akuisisi yang dilakukan Microsoft terhadap Activision Blizzard menjadi landasan di mana industri game akan semakin dipandang dan maju di masa depan nanti. Semua perusahaan maupun pengusaha akan berbondong-bondong menuju industri ini dan menginvestasikan uangnya untuk kemajuan game.
Akan tetapi, terdapat ‘bayang-bayang’ hitam yang menyelimuti kejadian akusisi tersebut. Semakin besar industrinya, semakin besar yang akan bermain, dan semakin banyak yang akan bertarung. Memang, akuisisi hanya bisa dilakukan oleh orang atau perusahaan yang memiliki profit yang tinggi karena hal tersebut membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Namun, hal tersebut juga menyimpan cerita yang menyedihkan di mana akan semakin sulit para pembuat game indie atau bisa dikatakan kecil untuk bisa merangkak ke ‘atas’. Mereka akan sulit untuk mendapatkan dukungan dari para pemilik modal lantaran mereka tidak mempunyai pamor dan portofolio sebesar perusahaan-perusahaan besar lainnya. Salah seorang yang merasakan hal tersebut adalah Tanya Short, founder dan creator dari game Boyfriend Dungeon serta Direktur dan Kepala Eksekutif studio game independen, Kitfox Games.
Baca Juga:
- Penjualan Franchise Game Metal Gear Solid Telah Mencapai 58 Juta
- Setelah 20 Tahun Berjalan, Game America’s Army Akhirnya Tutup Usia
- Diklaim Tidak Membayar Upah Karyawannya, Noble Esports Langsung Tutup Akun Twitter Mereka
Tanya Short adalah salah satu dari sekian banyak pembuat game indie yang merasakan bagaimana sulitnya untuk mendapatkan investor bagi ide gamenya. Hal tersebut tercermin ketika ia menawarkan pilot untuk Boyfriend Dungeon. “Mereka semua menolaknya. Mereka mengatakan bahwasanya nama dari game tersebut tidak menarik, atau mereka hanya tidak mengerti,” ucap Tanya Short di dalam artikel yang dilansir oleh BBC.

Dengan adanya akuisisi tersebut, tentunya Tanya Short berpikiran bahwasanya ini akan merepotkan dan menyulitkan perusahaan pengembang game indie untuk bisa ‘naik’. Hal tersebut terlihat di mana pada saat perayaan Natal, jarang sekali pengembang game indie mengeluarkan game mereka lantaran mereka sudah tidak bisa melawan pengembang game-game besar yang mengeluarkan game di waktu Natal dengan game ‘Triple-A’ mereka. Jika mereka tetap mengeluarkan game di kala Natal, maka sama saja seperti ‘bunuh diri’ dan semakin memperlihatkan monopoli perusahaan-perusahaan besar.
“Akuisisi Activision Blizzard yang dilakukan Microsoft ini membuat kami takut karena itu membuatnya jauh lebih jelas – mungkin mereka bisa mendominasi di sisa tahun ini, dan lantas apa yang kami lakukan?”
–Tanya Short
Keresahan yang sama juga diungkapkan oleh Yura Zhdanovich, pendiri dan Direktur Game dari Sad Cat Studios. Berbeda dari perusahaan-perusahaan pengembang game lainnya, ia hanya membutuhkan 20 orang untuk membuat sebuah game yang memiliki konsep yang sama seperti Cyberpunk 2077, sebuah game yang ia beri nama Replaced.

Saat dirilis di akhir tahun, gamenya memang muncul di Xbox Game Pass dan beberapa platform lainnya. Ia bahkan memuji Microsoft selaku pembuat konsol Xbox lantaran memasukkan game-nya ke dalam Xbox Game Pass. Akan tetapi, kekhawatirannya sama seperti Tanya Short: bagaimana nasib mereka di masa depan?
“Bisa dibayangkan, game indie di luar layanan ini mungkin kehilangan interaksi karena pelanggan memfokuskan sebagian besar perhatian mereka pada game yang dapat mereka akses secara gratis di dalam layanan tersebut,”
–Yura Zhdanovich
Kekecewaan juga muncul dari Jake Simpson, seorang yang bekerja sebagai game developer untuk beberapa game ternama seperti Marvel Spider-Man (2018). Ia mengatakan bahwasanya dengan adanya kasus ini, para perusahaan besar akan memaksa pengembang game indie untuk ‘race to the bottom’ dan itu akan menjadi ‘bom waktu’ bagi mereka.
Berdasarkan informasi yang didapat dari VG Insights, lebih dari setengah game indie yang ada di platform Steam, tidak pernah menghasilkan keuntungan lebih dari US$4,000 dan hal tersebut tentunya sangat menyakitkan.
“Orang-orang bersedia menghabiskan US$1,000 atau sekitar £740 untuk smartphone dan kemudian menjadi sangat tersinggung jika kalian meminta mereka membayar US$4,99 untuk sebuah game,”
–Jake Simpson
Tentunya ini menjadi hal yang menyedihkan yang muncul dari persaingan dagang tanpa batas. Semua orang punya hak untuk berbisnis, akan tetapi tidak semua orang mendapatkan hak untuk ‘berhasil’. Akankah ini menjadi pertanda ‘kegelapan’ industri game?